Page 37 - LAPORAN PENELITIAN ITI SEPT 2021
P. 37
aksi geopark dapat bersinergi dan memberikan dampak yang optimal. Sedangkan pada fungsi yang sifatnya lebih
local pada geosite, diperlukan SDM yang memilki pengalaman, kemampuan, dan pengetahuan akan
karakteristik dari geosite tersebut. Hal ini dimaksudkan agar implementasi program dan identifikasi kebutuhan
berjalan secara tepat sasaran.
Faktor SDM (Sumber Daya Manusia) tidak akan terlepas dari tata kelola yang profesional. Dilihat dari bentuk
organisasi pengelola ada dua bentuk yang dominan yaitu Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) dan Lembaga di
bawah Kabupaten atau Provinsi. Meskipun bentuk pengelolaan dapat beragam dan kasuistik, namun tetap
diperlukan pengelola yang profesional dan kredibel serta memiliki kapasitas yang mumpuni.
b. Kemitraan Lintas Sektor
Untuk kemitraan dengan non pemerintah yaitu badan usaha sekitar 1 hingga 3 kegiatan pertahun diantaranya
yaitu Bank Indonesia event Festival Rinjani, PT. Amman Mineral peringatan hari kebencanaan internasional,
PT TOBA TENUN, revitalisasi pewarnaan alami Ulos sebagai unsur culture diversity Toba Caldera UNESCO
GLOBAL GEOPARK, SKK-K3S Migas bantuan fasilitas unum di geosite-geosite, PT. Gag Nikel Pembuatan
Buku Geopark Raja Ampat, PT Timah Tbk. dukungan untuk pengembangan melalui sekolah alam, PT MCM
pelatihan reklamasi pasca tambang. Bentuk kemitraan tersebut sebagian besar adalah CSR jangka panjang,
belum bersifat kerjasama sama jangka panjang dengan program yang lebih besar.
Sedangkan kemitraan dengan masyarakat paling banyak dilakukan dengan Pokdarwis, Karang Taruna dan
Koperasi dengan kegiatan seperti UMKM Sri Coffee tentang pengembangan geoproduk, Pokdarwis Jagaranta
tentang pengembangan geowisata, Koperasi Lingkar Rinjani tentang pengembangan geoproduct Bee Farm
(kerjasama budidaya ternak madu trigona), INLA (kerjasama pelestarian lingkungan hidup), Kelompok Sadar
Wisata Huta Tinggi untuk Pengelolaan Home Stay di Geosite Huta Tinggi Sidihoni, dll. Kemitraan dengan
masyarakat pun perlu didudukan pada kerangka tata kelola yang berkelanjutan, mengingat saat ini masih banyak
yang berifat sukarela sehingga diragukan keberlanjutannya.
Beberapa tantangan lain yang juga dihadapi dalam proses kemitraan ini diantaranya yaitu : Lahan yang masih
menjadi milik masyarakat dan tidak berkenan untuk dihibahkan guna pembangunan beberapa fasilitas umum;
Kewenangan dalam pengelolaan aset; Proses birokrasi terutama dalam menjalin MoU dan PKS sebelum
pelaksanaan kerjasama kemitraan; Kesadaran masyarakat tentang keberadaan kawasan Geopark belum terlalu
dirasakan. Selain itu kondisi medan yang cukup sulit dan kurang memadainya akses menuju kawasan tersebut
masih menjadi tantangan tersendiri; Potensi tumpang tindih yang cukup besar dalam hal pengelolaan 3A,
wilayah operasi dan pembiayaan dan regulasi.
c. Lemahnya Pembiayaan
Lemahnya pembiayaan dapat mengakibatkan pengelolaan Geopark tidak dapat berjalan optimal. Sumber
pemasukan saat ini sebagian besar bersumber dari APBD, APBN dan CSR dengan rata-rata pemasukan
mayoritas seratus juta rupiah per tahun. Minimnya anggaran ini menyebabkan sulitnya pengelolaan dilakukan,
karena tidak adanya pos anggaran pemasukan rutin bagi pengelolaan Geopark saat ini. Oleh karena itu, sebagian
besar pengelola berusaha mencari dana CSR melalui berbagai perusahaan dan bank seperti PT Toba Tenun,
Pelindo, PT Timah, Pertamina, Bank Indonesia, dll.
Dalam hal pengeluaran rata-rata dikisaran kurang dari 1 milyar per tahun untuk kegiatan promosi, sosialisasi,
pelatihan dan pembangunan fasilitas. Namun, dengan anggaran yang terbatas terlihat alokasi pengeluaran
sebagian besar bersifat non fisik. Sedangkan dalam pembangunan geopark yang utama adalah pembangunan
aksesibilitas dan fasilitas yang memadai. Sehingga diperlukan anggaran yang jelas dan rencana sesuai roadmap
yang telah disepakati. Sejauh ini upaya yang dilakukan daerah untuk mengelola anggaran adalah melakukan
koordinasi intensif dengan stakeholders dan mensinergikan kegiatan-kegiatan tersebut, mendistribusikan
28